Senin, 19 Desember 2011

Syariat Islam dalam Pemberantasan Korupsi



Di Indonesia, korupsi agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Korupsi yang selama ini berjalan memiliki metode yang jelas, yaitu buat pendapatan sekecil mungkin dan buat pengeluaran sebesar mungkin. Bentuknya beraneka ragam, pelakunya pun bermacam-macam. Ada korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Misalnya, mereka menentukan dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya tidak perlu atau memang perlu tapi di tempat lain, menentukan kepada siapa proyek harus jatuh, menentukan jenis investasi pada perusahaan hampir bangkrut milik pejabat, dan mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta tertentu tanpa memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi juga dilakukan pada pengelolaan uang negara seperti uang yang belum/sementara tidak dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk deposito, bunganya mereka ambil, bahkan seringkali mereka mendapat premi dari bank; BUMN pengelola uang pensiunan atau asuransi menginvestasikan uang tersebut untuk kepentingan pribadi,atau bahkan di perusahaannya pribadi. Korupsi juga kerap terjadi pada pengadaan dalam bentuk membeli barang yang sebenarnya tidak perlu untuk memperoleh komisi, membeli dengan harga lebih tinggi dengan cara mengatur tender, membeli barang dengan kualitas dan harga tertentu tetapi barang yang diterima kualitasnya lebih rendah, selisih harganya masuk ke saku pejabat, atau barang dan jasa yang dibeli tidak diterima seluruhnya, sebagiannya digunakan oleh pejabat. Begitu pula korupsi terjadi pada penjualan barang dan jasa, pengeluaran, dan penerimaan. Walhasil, korupsi di Indonesia telah menggurita. Wajar selama kurun lima tahun terakhir, Indonesia menduduki tidak kurang dari peringkat kelima negara terkorup.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sebagaimana mestinya). Koruptor makin kaya, rakyat yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.

Pengusutan Korupsi, Suatu Kewajiban
Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya merupakan perbuatan yang haram. Nabi saw. menegaskan: “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Adanya kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, menunjukkan keharaman seluruh bentuk perampasan termasuk korupsi.
Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Dilihat dari aspek keharamannya, jelas perkara haram tersebut harus dihilangkan, baik ada yang menuntutnya ataupun tidak. Demikian pula kasus korupsi, tanpa ada tuntutan dari rakyat pun sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadilinya.
Apalagi, ditinjau dari sisi lain, korupsi ini menyangkut perampasan terhadap milik rakyat dan negara. Padahal, yang namanya pemimpin merupakan “pengembala” rakyatnya. Kata Nabi saw., “Sesungguhnya pemimpin itu (imam) adalah pengembala, dan ia pasti dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang digembalakan itu.” Bila ditafakuri karakter pengembala, maka akan tampak bahwa sang pengembala ia akan mencari makanan untuk gembalaannya, bila sakit diobati, ada nyamuk dibuatkan api unggun, dan bila tubuhnya kotor dimandikan di sungai. Artinya, hal-hal yang merupakan kebutuhannya dipenuhi dan hal-hal yang membahayakannya dicegah dan dilawan. Realitanya, harta yang dikorupsi merupakan harta rakyat dan negara. Bila dibiarkan, rakyatlah yang akan mendapatkan kerugian finansial. Yang semestinya rakyat yang menikmati, gara-gara korupsi rakyat menjadi setengah mati. Seorang pemimpin sejati, pasti tidak akan membiarkan kondisi seperti ini. Bila tidak, ia telah berkhianat terhadap akad sebelum ia menjadi pemimpin. Padahal, Allah Swt. di dalam terjemahan surat al-Maa-idah (5): 1 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman tepatilah akad-akadmu … .”
Ada suatu teladan dari Umar bin Khaththab. Di dalam kitab Thabaqat, Ibnu Sa’ad mengetengahkan kesaksian asy-Syi’bi yang mengatakan, “Setiap mengangkat pemimpin, Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang tersebut. Selaain itu, bila meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari kekayaan yang layak baginya, yaang sesuai dengan gajinya.” Tampak jelas bahwa sikap Umar bin Khaththab progresif dalam mengusut kasus korupsi. Beliau tidak menunggu terlebih dahulu tuntutan dari rakyat. Selain itu, sederhana sekali rumus yang diberikan beliau. Bila kekayaan yang ada sekarang tidak mungkin diperoleh dengan gaji yang didapatkan selama sekian lama menjabat, pasti kelebihan kekayaannya tersebut hasil korupsi. Jelaslah, diperlukan sikap tegas dan serius dari pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadili orang yang diduga melakukan korupsi karena ini merupakan kewajibannya.
Pemberantasan Korupsi Perspektif Syariat
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor - dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Keenam, kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara (Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak jelas siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan, seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan kepada mereka.
Ketujuh, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan Indonesia dan seluruh umat dengan syariat.
Sumber

Telaah Wahyu : Tak Layak Mencari Hakim Selain Allah


Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu [TQS al-An’am [6]: 114).

Banyak fakta yang menunjukkan betapa rusaknya ketika manusia, masyarakat, dan negara yang ditata dengan hukum produk hawa nafsu manusia. Meskipun fakta tersebut dapat diindera dengan kasat mata, namun seruan untuk segera mencampakkan hukum jahiliyyah itu seraya segera menerapkan syariah, masih banyak mendapat penolakan. Padahal, tidak ada satu pun argumentasi yang dapat diterima untuk mendukung dan membenarkan penolakan tersebut.

Manusia tidak layak mengambil dan menerapkan hukum buatan manusia, amat banyak dijelaskan dalam ayat maupun hadits Nabi SAW. Ayat ini adalah di antaranya.
Hanya kepada Allah

Allah SWT berfirman: Afaghayrul-Lâh abghîhakam[an] (maka patutkah aku mencari hakim selain Allah).Dijelaskan al-Baghawi bahwa sesungguhnya dalam ayat ini terdapat kata yang disembunyikan, yakni: Katakan kepada mereka, wahai Muhammad, apakah kepada selain Allah saya mencari hakim antara aku dan kalian? Menurut Abu Hayyan, kaum Musyrikin Arab berkata kepada Nabi SAW, “Jadikanlah antara kami dengan engkau hakim dari pendeta Yahudi atau pendeta Nasrani untuk mengabarkan kepada kami tentang engkau berdasarkan kitab mereka.” Lalu, turunlah ayat ini.

Ayat ini diawali dengan hamzah al-istifhâm, huruf yang berguna sebagai kata tanya. Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, al-Alusi, dan al-Biqa’i, kata tersebut memberikan makna al-inkârî. Yakni kalimat tanya yang bertujuan mengingkari perkara yang disebutkan. Bisa juga bermakna al-nafiyy (menegasikan) sebagaimana diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi. Dalam Alquran, cukup banyak uslub seperti ini, seperti firman Allah SWT: Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan (TQS Ali Imran [3]: 83).

Perkara yang diingkari dan dinafikan dalam ayat ini adalah tindakan mencari hakamselain Allah SWT. Menurutahli bahasa, kata al-hakam semakna dengan kata al-hâkim.Artinya, man yatahâkamu ilayh al-nâs (orang atau pihak yang menjadi rujukan bagi manusia dalam memutuskan perkara). Demikian al-Jazairi dalam tafsirnya, Aysar al-tafâsâr. Hanya saja, menurut sebagian ahli takwil, kata al-hakam lebih sempurna daripada kata al-hâkim. Sebab, al-hâkim mencakup semua orang yang menghukumi, sedangkan al-hakam tidak menghukumi kecuali dengan benar. Demikian Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb.

Dengan demikian, ayat ini memberikan pengingkaran terhadap tindakan orang yang mencari pemutus perkara dengan keputusan yang benar kepada selain Allah SWT. Selain ayat ini, amat banyak dalil yang memberikan celaan dan larangan terhadap orang yang tidak mau berhukum kepada-Nya atau hukum yang diturunkan-Nya, seperti QS al-Nisa [4]: 60, al-Maidah [5]: 45, 46, dan 47, dan lain-lain.

Kitab-Nya Sudah Terperinci
Bahwa tindakan mencari hakam selain Allah SWTmerupakan tindakan yang tidak layak, ditegaskan dalam frasa selanjutnya: Wahuwa al-ladzî anzala ilaykum al-Kitâb mufashshal[an] (padahal Dialah yang telah menurunkan kitab [Alquran] kepadamu dengan terperinci?).Menurut al-Alusi, kalimat ini berkedudukan sebagai hâl yang berfungsi muakkidah li al-inkâr (menegaskan makna pengingkaran).

Maksud dari kata al-Kitâb dalam kalimat ini adalah Alquran.Sebagaimana dijelaskan para mufassir, seperti al-Syaukani, Ibnu Athiyah, al-Wahidi al-Naisaburi, al-Biqa’i, dan lain-lain. Sedangkan mufashshal[an], menurut al-Syaukani, berarti mubayyan[an]wâdhih[an] mustawfiyan li kulli qadhiyyah’alâ al-tafshîl (terang, jelas, dan mencukupi untuk semua masalah secara terperinci).

Tak jauh berbeda, al-Alusi juga memaknainya sebagai mubayyan (terang). Di dalamnya terdapat penjelasan tentang yang haq dan batil, halal dan haram, dan berbagai hukum lainnya sehingga tidak ada satu pun perkara agama yang rancu dan samar. Maka semua kebutuhan sesudah itu, dapat merujuk kepada hukum tersebut.

Bahwa Alquran telah memberikan penjelasan tentang hukum secara menyeluruh juga diberitakan dalam firman-Nya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu(TQS al-Nahl [16]: 89). Juga dalam QS Hud [11]: 10. Oleh karena Alquran memberikan penjelasan secara menyeluruh dan terperinci, maka manusia tidak memerlukan lagi hukum-hukum lainnya dalam perkara al-dîn. Mengapa masih mencari yang lain sementara semua jawaban atas pertanyaan hukum sudah tersedia dalam Alquran?

Realitas Ahli Kitab
Setelah dijelaskan tentang keharusan berhukum kepada-Nya, kemudian diberitakan mengenai realitas sesungguhnya Ahli Kitab terhadap Alquran. Allah SWT berfirman: Wal-ladzîna âtaynâhum al-Kitâb ya’lamûna annahu munazzal min Rabbika bi al-haqq(orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya).Penunjukan kata al-Kitâbdalam frasa ini berbeda dengan frasa sebelumnya. Sebagaimana diterangkan al-Biqa’i, kata al-Kitâb dalamfrasa ini menunjuk kepada Taurat, Zabur, dan Injil. Sehingga, maksud dari orang-orang yang telah diberikan al-Kitabini adalah Yahudi dan Nasrani. Merekalah kaum yang telah diberikan kitab-kitab tersebut. Menurut Abu Hayyan, al-Jazairi, dan al-Shabuni, dalam konteks ayat ini, mereka adalah para pendeta Yahudi dan Nasrani. Sedangkan dhamîr al-ghâib pada kata annahu menunjuk kepada Alquran.

Diberitakan dalam ayat ini, sesungguhnya mereka telah mengetahui kebenaran Alquran. Mereka juga mengetahui bahwa Alquran benar-benar merupakan kitab yang diturunkan Allah SWT, yang di dalamnya tidak ada perkara yang batil dan meragukan. Imam al-Qurthubi menafsirkan frasa munazzal min Rabbika bi al-haqq dengan ungkapan: Semua yang ada di dalamnya, baik janji maupun ancaman, merupakan kebenaran.

Menurut sebagian mufassir, seperti al-Nasafi, maksud dari al-ladzîna âtaynâ al-Kitâb adalah orang-orang Mukmin yang sebelumnya berasal dari Ahli Kitab, seperti Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran Alquran.

Akan tetapi tampaknya penafsiran ini tidak tepat. Sebab ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa selain mereka (Ahli Kitab) yang masuk Islam, sesungguhnya juga mengetahui kebenaran Alquran dan kenabian Rasulullah SAW (lihat QS al-Baqarah [2]: 146, al-An’am [6]: 20). Akan tetapi, pengetahuan mereka terhadap kebenaran Alquran tidak lantas membuat mereka menjadi beriman. Sebagian besar mereka tetap bersikap ingkar karena kesombongan dan kedengkian mereka. Allah SWT berfirman: Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran (TQS al-Baqarah [2]: 109).

Bahkan bukan hanya Ahli Kitab, semua orang yang mau menelaah Alquran niscaya akan berkesimpulan sama. Sebab, sebagai Kitab yang ditujukan untuk seluruh manusia, kemukjizatan Alquran dapat dijangkau oleh semua manusia. Oleh karena itu, tatkala manusia menggunakan akalnya dengan benar pastilah dapat menangkap kebenaran Alquran.

Kemudian ayatini ditutup dengan firman-Nya: Falâ takûnanna min al-mumtarîn (maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu).Menurut al-Alusi, pengertian al-mumtarîn adalah al-mutaraddidîn (orang-orang yang ragu). Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga menafsirkannya sebagai al-syâkkîn (orang-orang yang ragu). Yakni, orang-orang yang ragu bahwa Alquran itu diturunkan Allah.

Khithâb (seruan) ayatini secara zhahir ditujukan kepada Nabi SAW. Seruan tersebut bisa bermakna sebagai al-tahyîj wa al-ilhâb (membangkitkan dan mengobarkan semangat). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik(TQS al-An’am [6]: 14). Bisa juga dipahami, bahwa eruan tersebut pada hakikatnya ditujukan kepada umatnya.

Demikianlah. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan sikap yang menolak hukum yang diturunkan Allah SWT. Selain hukum tersebut dijamin kebenarannya, juga telah memberikan solusi permasalahan hidup manusia secara menyeluruh. Termasuk dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan pria-wanita, pidana, dan lain-lain. Inilah satu-satunya hukum yang akan mengantarkan mansuia meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Wal-lâh a’lam bi al-shawâb. (Rokhmat S. Labib, M.E.I.)

Ikhtisar:
Tidak layak mencari hakim selain Allah
Sesungguhnya Ahli Kitab mengetahui kebenaran Alquran
Janganlah menjadi orang yang ragu terhadap kebenaran Islam

Meneladani Kesederhanaan Para Khalifah


Filosofi-filosofi sesat dalam sistem politik demokrasi telah menyesatkan banyak politisi yang terlibat dan berkecimpung di dalamnya. Sebagai permisalan konsep dasar demokrasi ‘kedaulatan di tangan rakyat’ telah menjadikan banyak politisi muslim terjebak dalam kesyirikan dan dosa. Mereka melegislasi perundangan dan hukum berdasarkan selera dan keinginan mayoritas bukan berdasarkan al Quran dan as Sunnah. Disadari atau tidak para politisi ini telah menjadikan manusia, tepatnya diri mereka sendiri sejajar dengan Allah sebagai pembuat hukum nau’dzubillah! Mereka pun telah berdosa karena produk undang-undang yang mereka sepakati banyak bertentangan dengan keyakinan dan hukum-hukum yang seharusnya mereka laksanakan atau diingkari sebagai muslim

Adagium “tidak ada lawan abadi, tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi” telah menjadikan para penganut dan pejuang demokrasi bersikap munafik sepanjang kehidupan politik mereka. Politisi dan partai yang semula menyerukan Islam, tanpa harus merasa berdosa mengumumkan bahwa syariat Islam tidak lagi cocok diterapkan di negeri ini. Bersekutu dengan para politisi dan partai yang sekuler bukan lagi perkara yang harus dipersoalkan sepanjang hal itu dilakukan demi suara mayoritas dalam pemilu.

Para politisi dan pejabat dalam sistem demokrasi tidak lagi memandang jabatan dan kekuasan sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah SWT yang tidak ada pembela pada hari itu kecuali amal kebaikan yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia.

Bagi mereka, jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Makanya gaya hidup mereka pun harus menyesuaikan dengan citra tersebut. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkannya. Dengan begitu, bukan saja mereka akan menjadi kaya raya dan hidup bergelimang dengan kemewahan tetapi juga menjadi selebriti, terkenal, dan dalam waktu sekejap menjadi orang yang dihormati. Lengkap dengan privasi dan pengawalan yang ketat.

Walhasil, gaya hidup mewah mewarnai kehidupan hampir semua penguasa kaum Muslim. Mulai dari pakaian, kediaman, kantor hingga mobil dinas dengan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap kedudukannya.

Kesederhanaan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq r.a
Berbeda dari falsafah-falsafah politik dalam system demokrasi, falsafah politik dalam sistem Khilafah Islamiyah telah membantu politisi yang hidup di dalamnya tetap bertaqwa dan bersikap amanah dalam memegang jabatannya.

Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. demikian salah satu falsafah politik dan jabatan dalam Islam. Hal ini sebagaimana Rasulullah SAW nasehatkan kepada Abu Bakar ra:” “Hai Abu Bakar, urusan kedudukan itu adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang memandang kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan kepalanya untuk itu.”
Rasulullah pun sudah menjelaskan: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).

Bertolak dari falsafah ini Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq di hari pembaitannya berpidato di hadapan rakyatnya “Hai umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat, sedang bohong dan dusta adalah penghianatan.”

Pidato beliau ini bukanlah pencitraan dan lipstick semata. Selama beliau berkuasa dengan berbagai prestasi yang dicapainya beliau tetap sederhana jauh dari sikap berfoya-foya dan pamer kekayaan. Dengan penuh ketaqwaan beliau tetap waspada dan berhati-hati terhadap amanah kekuasaan yang dipegangnya.

Kesederhanaan beliau nampak dari sepenggal kisah berikut ini. Alkisah, suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit kambing. Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru datang kepada Abu Bakar dan berkata: “Hai khalifah, engkau sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum muhajirin, Anshar, dan orang Arab.” Lalu Abu Bakar menjawab: “Apakah kamu bermaksud agar aku menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di zaman Islam?”

Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah: “Hai Aisyah, unta yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita mencelupkan pakaian, serta baju qathifah yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar.” Maka ketika Abu bakar meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin Khaththab.

Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata: “Hai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?” Jawab Abu Bakar: “Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong kamu.” Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan waktu untuk memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.

Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Al Khaththab r.a
Kesederhanaan Abu Bakar sebagai pemimpin Negara menjadi suri tauladan bagi para khalifah setelahnya. Umar bin al Khathab khalifah setelahnya dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dalam mentaati syariah Islam dan tegas pula dalam hal menjaga diri, keluarga dan para pejabat di pemerintahannya untuk tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Umar bin al Khathtab pernah memaksa putranya Abdullah bin Umar untuk segera menjual unta gemuk putranya itu yang digembalakan di tanah milik Negara dan mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam kas Negara (baitul maal). Khalifah Umar tidak menginginkan anak-anaknya bersikap aji mumpung memanfaatkan fasilitas Negara selama beliau berkuasa.

Kesederhanaan beliau juga tercermin  dalam kisah berikut ini. Suatu saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan ‘keras’. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima. Akhirnya, mereka menemui Hafshah ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar ra. Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar  tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, “Siapa yang berani mengajukan usulan itu?”

Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, “Berikan dulu pendapat Ayah.”
Umar ra berkata, “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”

“Hafshah, sekarang coba engkau  ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,” kata Umar lagi.

Hafshah menjawab, “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut.”

“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir. Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka,” tegas Umar lagi.

Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” kata Uthbah.

Khalifah Umar malah bertanya, “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”
“Tentu tidak,” jawab Uthbah ra.
“Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,” tegas Umar.
*****

Umar bin Al Khaththab tidak hanya memberlakukan kesederhanaan pada dirinya semata, namun juga terhadap para pejabat di pemerintahannya sebagaimana kisah diatas.
Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan para raja Arab saat ini. Namun, semua itu ternyata tidak otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta dan kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.

Kesederhanaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib (sa), selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.” (Biharul Anwar, jilid 40, hlm. 326)
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.” (Biharul Anwar, jilid 4, hlm 323)

Dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif, Imam Ali (sa) menyatakan: “Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah ‘merasa cukup’ dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah (kesucian diri) dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah (harta rampasan perang), aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya.” (Nahjul Balaghah, surat nomor 45)

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau menyatakan: “Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada berbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, banyak perut yang lapar dan kerongkongan yang haus.” (Nahjul Balaghah, surat 45)
******

Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam system Khilafah Islamiyah. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama, memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya beserta segenap rakyatnya. Mereka adalah para pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya disegani para lawannya. Hanya musuh-musuh Alloh saja yang membenci keberhasilan mereka.

Pemimpin dan pejabat Negara yang demikian tidak akan pernah ada dalam system rusak seperti demokrasi sekarang ini. Yang terjadi sebaliknya orang yang secara pribadi sholeh tidak akan bisa lepas dari debu-debu kesesatan demokrasi pada saat mereka berkecimpung di dalamnya. Wallohu ‘alam bii ash shaawab.

Tak Memperjuangkan Khilafah, Berdosa ?


Soal:
Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya?

Jawab:
Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.[1]
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.[2] Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:
اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.[3]
Karena itu, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:
إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ
Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. [4]
Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain. Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:
ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. [5]
Dengan kata lain, fardhu kifayah  dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:
خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.
(Fardhu kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. [6]
Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.
Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini-sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim-kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.
Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاََّ بِهِ.
Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. [7]
Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban  menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:


[1] Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, X/271 dan XI/42.
[2] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368; al-’Allamah Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, II/185; al-’Allamah al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, II/437; al-’Allamah al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib; al-’Allamah al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal.
[3] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368.
[4] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, XIII/8.
[5] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II/19.
[6] Al-Imam al-’Allamah al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/68.
[7] Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/119.

Sumber: www.hti

Kemenangan Kubu Islamis dan Masa Depan Mesir


Seperti sudah diduga sebelumnya, kubu Islamis berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu putara pertama pasca tumbangnya Mubarak. Berdasarkan pengumuman Komite Tinggi Pemilihan Umum Mesir pada hari Ahad (04/12/2011) lalu, Partai an Nur yang berbasis Salafy diluar dugaan banyak pihak meraih 24,4%.
Suara terbanyak diraih Partai Kebebasan dan Keadilan yang berafiliasi kepada al Ikhwanul Muslimun ,berhasil mendulang 36,6%. Sementara partai dari kubu sekuler terpuruk , hanya mendapat 13,4% suara .Dengan demikian, partai-partai Islam memperoleh lebih dari 60% suara pada pemilu tahap pertama di Mesir.
Kemenangan kubu Islamis ini , mencerminkan keinginan rakyat Mesir yang kuat terhadap Islam. Meskipun Partai Kebebasan dan Keadilan telah menyatakan tidak akan menerapkan syariah Islam , tidak menginginkan negara Islam tapi negara sipil demokratis, dan menerima pluaralisme , tetap saja dianggap lebih kental ‘keislamannya’. Sementara partai an Nur , memang sejak awal dengan tegas menyerukan penegakan syariah Islam.
Rendahnya peralihan suara yang diperoleh partai sekuler, menunjukkan kemuakan rakyat Mesir terhadap pemerintahan sekuler selama ini yang represif dan tidak mensejahterakan rakyat Mesir. Ditambah lagi , kubu Islamis memang lebih siap menghadapi pemilu kali ini . Kubu Islamis memiliki basis massa yang jelas dan lebih terorganisir.
Kemenangan kubu Islamis ini tak ayal membuat Amerika melakukan langkah-langkah preventif untuk tetap mengamankan kepentingannya di Mesir. Surat kabar “Almesryoon“,Sabtu (3/12/2011) memberitakan kedutaan besar Amerika memanggil semua sekutu liberalnya di Kairo. Melakukan pertemuan darurat membahas implikasi keberhasila n besar al Ikhwanul al Muslimun dan koalisi Salafi.
Amerika Serikat memang sangat khawatir perubahan di Timur Tengah terutama Mesir mengarah kepada penegakan syariah Islam apalagi Khilafah. Karena hal ini akan mengancam kepentingan penjajahan Amerika di Mesir dan Timur Tengah. Tegaknya Khilafah juga akan menjadi ‘efek domino’ yang akan menyatukan negeri-negeri Islam di seluruh dunia yang memang sudah menginginkan umat Islam bersatu.
Kontak rutin Kepala Staf Gabungan Pasukan AS Laksamana Mike Mullen, Koordinator Khusus untuk Urusan Transisi Timur Tengah William Taylor, dan Duta Besar AS di Kairo dengan Dewan Militer, Syaikh Al Azhar dan simbol-simbol negara, menunjukkan keseriusan Amerika untuk tetap mengontrol Mesir. Terutama memastikan Dewan Militer Mesir tetap berpegang teguh pada sekulerisme dan berpihak pada Amerika.
Amerika juga melakukan kontak-kontak intensif dengan kubu al Ikhwanul Muslimun. Negara adi daya ini ingin memastikan bahwa al Ikhwan berpegang teguh pada demokrasi dan pluralisme. Tekanan Amerika ini tampaknya berhasil, dilihat dari pernyataan tokoh al Ikhwan yang menunjung tinggi demokrasi dan pluralisme.
Situs Islammemo mengutip laporan wartawan Mesir yang mengatakan telah menyaksikan kontak kontak intensif antara Kedutaan Besar AS di Kairo dengan sejumlah tokoh-tokoh kelompok Islamis di Mesir. Surat kabar Mesir “Almasryoon” menyatakan telah dibahas isu-isu sensitif dalam kontak-kontak ini seperti masa depan hubungan antara Mesir dan Amerika Serikat, perjanjian damai antara Mesir dan dan Israel, penyelesaian masalah Timur Tengah, hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Arab.
Dilaporkan juga para pejabat pada departemen hubungi politik di Kedubes AS menuntut kekuatan Islam mengidentifikasi pandangannya dengan jelas dalam bentuk perjanjian tertulis (hitam di atas putih) terkait masalah-masalah tersebut. Hal ini mengingat kemungkinan dominasi kelompok Islamis di parlemen mendatang dan di Majelis Konstituante yang bertugas merancang konstitusi.
Dr Mahmud Husein, Sekjen al Ikhwanul Muslimun menolak menyangkal atau menegaskan adanya komunikasi ini. Sementara Dr Yasri Hammad, juru bicara partai “An-Nur” mengakui adanya komunikasi langsung antara partai dan semua Kedutaan Besar Barat di Kairo, termasuk Kedutaan Besar AS.
Dilaporkan juga, Senator AS John Kerry bertemu dengan anggota Ikhwanul Muslimin Mesir, kelompok Islam yang akan mendominasi parlemen baru, serta penguasa militer negara itu dan perdana menteri pada hari Sabtu kemarin (10/12) .Ikhwanul Muslimin mengatakan dalam sebuah pernyataan tiga pejabat tinggi mereka menghadiri pertemuan dengan Kerry, yang didampingi oleh Duta Besar AS Anne W. Patterson.
Dalam pertemuan mereka dengan senator Demokrat dari Massachusetts, pejabat al Ikhwan bersumpah untuk menghormati hak-hak sipil dan perjanjian internasional yang telah ditandatangani di masa lalu. Hal ini mungkin sebuah upaya untuk meredakan kekhawatiran bahwa kelompok ini mungkin mencoba untuk mengkaji kembali perjanjian damai Mesir dengan Israel.
Militer Berkhianat ?
Amerika juga berusaha menggunakan militer untuk melakukan langkah-langkah yang justru tidak demokratis. Salah seorang anggota Dewan Agung Militer , kamis (8/12) Mayjen Mukhtar Mulla mengatakan dewan konsultatif yang dibentuk militer dan beranggotakan 30 tokoh Mesir pilihan militer memiliki wewenang yang lebih besar.
Militer mencoba mengurangi peran parlemen mendatang dan memberikan tambahan wewenang kepada dewan konsultatif dan pemerintahan transisi yang dibentuk militer untuk menyusun konsitutusi baru. Padahal berdasarkan referandum yang dilangsung secara demokratis maret kemarin suara mayoritas menyatakan mendukung hak parlemen untuk menyusun konstitusi baru.
Sikap militer ini dikecam kubu al Ikhwan, apalagi sebelumnya al Ikhwan berusaha menahan diri untuk tidak konflik dengan militer. Sejalan dengan kubu militer. Al Ikhwan tidak terlibat dalam unjuk rasa di alun-alun Tahrir pada 18 November yang lalu. Aksi unjuk rasa ini meminta agar dewan militer segera mengundurkan diri , setelah terbongkarnya dokumen Ali al Silmi yang berisi draft konstitusi baru. Dalam draft ini, militer diberi otoritas luas soal anggaran tanpa kontrol parlemen.
Akankah al Ikhwan kembali dikhianati oleh militer seperti di masa Gamal Abdul Nasser ? Saat itu al Ikhwan dan militer bekerjasama untuk menumbangkan rejim Raja Farauk yang pro Inggris, namun setelah berhasil militer justru menyikat habis kekuataan politik al Ikhwan. Menghukum mati banyak tokoh al Ikhwan termasuk Sayyid Qutub.
Arah Perkembangan Politik
Arah perkembangan politik Mesir ini, tentu sangat mengkhawatirkan. Salah satu partai Islam berpengaruh di Timur Hizbut Tahrir telah berulang kali mengingatkan bahwa semua kerjasama dengan asing apalagi negara-negara imperialis berarti bunuh diri secara politik. Apalagi tunduk pada tuntuan mereka untuk berpegang teguh pada demokrasi dan pluralisme. Secara hukum syara’ juga diharamkan, karena status AS sebagai negara muhariban fi’lan yang secara langsung telah memerangi umat Islam.
Hal ini tidak akan membawa perubahan mendasar di Mesir. Hizbut Tahrir mengingatkan kemenangan Islam bukanlah menghantarkan orang-orang Islam ke tampuk kekuasaan yang (tetap) menerapkan sistem sekuler. Namun kemenangan sejati adalah meraih kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam !
Sistem sekuler dengan pilar demokrasi,liberalisme, dan pluralisme hanya akan kembali mengokohkan penjajahan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah dan melanggengkan sistem kufur kapitalisme. Padahal dua hal ini (campur tangan amerika dan sistem kapitalisme) adalah penyebab berbagai persoalan di Mesir selama ini. Dan penjajahan ini hanya akan bisa dihentikan dengan tegaknya syariah dan Khilafah yang akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan sejati pada rakyat Mesir. (Farid Wadjdi)